Baru sekali ini saya ke Iran. Kalau
saja PLN tidak mengalami kesulitan mendapatkan gas dari dalam negeri,
barangkali tidak akan ada pikiran untuk melihat kemungkinan mengimpor gas dari
negara para mullah ini.
Sudah setahun lebih PLN berjuang
untuk mendapatkan gas dari negeri sendiri. Tapi hasilnya malah sebaliknya.
Jatah gas PLN justru diturunkan terus menerus. Kalau awal tahun 2010 PLN masih
mendapat jatah gas 1.100 mmscfd, saat tulisan ini dibuat justru tinggal 900
mmscfd. Perjuangan untuk mendapatkan tambahan gas yang semula menunjukkan
tanda-tanda berhasil, belakangan redup kembali.
Gas memang sulit diraba sehingga
tidak bisa terlihat ke mana larinya. Bisa jadi gas itu akan berbelok-belok dulu
entah ke mana baru dari sana dijual ke PLN dengan harga yang sudah berbeda.
Padahal PLN memerlukan gas sebanyak 1,5 juta mmscfd. Kalau saja PLN bisa
mendapatkan gas sebanyak itu penghematannya bisa mencapai Rp 15 triliun setiap
tahun. Angka penghematan yang mestinya menggiurkan siapa pun.
Maka saya memutuskan ke Iran.
Apalagi upaya mengatasi krisis listrik sudah berhasil dan menuntaskan daftar
tunggu yang panjang itu pasti bisa selesai bulan depan. Kini waktunya
perjuangan mendapatkan gas ditingkatkan. Termasuk, apa boleh buat, ke negara
yang sudah sejak tahun 1980-an diisolasi oleh Amerika Serikat dan
sekutu-sekutunya itu. Siapa tahu ada harapan untuk menyelesaikan persoalan
pokok PLN sekarang ini: efisiensi. Sumber pemborosan terbesar PLN adalah
banyaknya pembangkit listrik yang “salah makan”. Sekitar 5.000 MW pembangkit
yang seharusnya diberi makan gas, sudah puluhan tahun diberi makan minyak solar
yang amat mahal. Salah makan inilah yang membuat perut PLN kembung selama ini.
Kebetulan Iran memang lagi
memasarkan gas dalam bentuk cair (LNG). Iran lagi membangun proyek LNG
besar-besaran di kota Asaleuyah, di pantai Teluk Parsi. Saya ingin tahu
benarkah proyek itu bisa jadi? Bukankah Iran sudah lebih 20 tahun dimusuhi dan
diisolasi secara ekonomi oleh Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya dari seluruh
dunia? Bukankah begitu banyak yang meragukan Iran bisa mendapatkan teknologi
tinggi untuk membangun proyek LNG besar-besaran?
Saya pun terbang ke Asaleuyah, dua
jam penerbangan dari Teheran. Meski Aseleuyah kota kecil ternyata banyak sekali
penerbangan ke kota yang hanya dipisahkan oleh laut 600 km dari Qatar itu.
Bandaranya kecil tapi cukup baik. Masih baru dan statusnya internasional.
Pesawat-pesawat lokal seperti Aseman Air terbang ke sini. Inilah kota yang
memang baru saja berkembang dengan pesatnya. Iran memang menjadikan kota
Asaleuyah sebagai pusat industri minyak, gas dan petrokimia. Beratus-ratus
hektar tanah di sepanjang pantai itu kini penuh dengan rangkaian pipa-pipa
kilang minyak, kilang petrokimia dan instalasi pembuatan LNG.
Saya heran bagaimana Iran bisa mendapatkan
semua teknologi itu di saat Iran lagi diisolasi oleh dunia barat. Memang terasa
jalannya proyek tidak bisa cepat, tapi sebagian besar sudah jadi. Kilang
minyaknya, kilang petrokimianya, kilang etanolnya sudah beroperasi dalam skala
yang raksasa. Hanya kilang LNG-nya yang masih dalam pembangunan dan
kelihatannya baru akan selesai dua tahun lagi.
Memang kalau saja Iran tidak
diembargo proyek-proyek itu pasti bisa lebih cepat. Namun Iran tidak menyerah.
Iran membuat sendiri banyak teknologi yang dibutuhkan di situ. Hanya
bagian-bagian tertentu yang masih dia datangkan dari luar. Entah dengan cara
apa dan entah lewat mana. Yang jelas barang-barang itu bisa ada. Orang, kalau
kepepet biasanya memang banyak akalnya. Asal tidak mudah menyerah. Demikian juga
Iran. Bahkan keperluan listrik untuk industri petrokimia itu Iran akhirnya bisa
membuat pembangkit sendiri. Termasuk bisa membuat bagian yang paling sulit di
pembangkit listrik: turbin. Maka Iran kini sudah berhasil menguasai teknologi
pembangkit listrik tenaga gas, baik open cycle maupun combine cycle.
Kemampuan membuat pembangkit listrik
ini pun semula agak saya ragukan. Belum pernah terdengar ada negara Islam yang
mampu membuat pembangkit listrik secara utuh. Karena itu setelah meninjau
proyek LNG saya minta diantar ke pabrik turbin itu. Saya ingin melihat sendiri
bagaimana Iran dipaksa keadaan untuk mengatasi sendiri kesulitan teknologinya.
Ternyata benar. Pabrik turbin itu
sangat besar. Bukan hanya bisa merangkai, tapi membuat keseluruhannya. Bahkan
sudah mampu membuat blade-blade turbin sendiri. Termasuk mampu menguasai
teknologi coating blade yang bisa meningkatkan efisiensi turbin. Baru 10 tahun
Iran menekuni alih teknologi pembangkit listrik ini. Sekarang Iran sudah
memproduksi 225 buah turbin dari berbagai ukuran. Mulai dari 25 MW sampai 167
MW. Bahkan Iran sudah mulai ekspor turbin ke Libanon, Syria dan Iraq.
Bulan depan sudah pula mengekspor suku cadang turbin ke India. Bulan lalu
pabrik turbin Iran ini merayakan produksi bladenya yang ke 80.000 buah!
Kesimpulan saya: inilah Negara Islam
pertama yang mampu membuat turbin dan keseluruhan pembangkit listriknya. Saya
dan rombongan PLN diberi kesempatan meninjau semua proses produksinya. Dari A
sampai Z. Termasuk memasuki laboratorium metalurginya. Dengan kemampuannya ini,
untuk urusan listrik, Iran bisa mandiri. Bahkan untuk pemeliharaan
pembangkit-pembangkit listrik yang lama Iran tidak tergantung lagi ke pabrik
asalnya. Mesin-mesin Siemen lama dari Jerman atau GE dari USA bisa dirawatnya
sendiri. Iran sudah bisa memproduksi suku cadang untuk semua mesin pembangkit
Siemen dan GE. Bahkan sudah dipercaya oleh Siemen untuk memasok ke negara lain.
“Anak perusahaan kami sanggup melakukan pemeliharaan pembangkit-pembangkit
listrik PLN dengan menggunakan suku cadang dari sini,” kata manajer di situ.
Pabrik ini memiliki 32 anak perusahaan, masing-masing menangani bidang yang
berbeda di sektor listrik. Termasuk ada anak perusahaan yang khusus bergerak di
bidang pemeliharaan dan operasi pembangkitan.
Bisnis kelihatannya tetap bisnis.
Saya tidak habis pikir bagaimana Iran tetap bisa mendapatkan alat-alat produksi
turbin berupa mesin-mesin dasar kelas satu buatan Eropa: Itali, Jerman, Swiss
dan seterusnya. Saya juga tidak habis pikir bagaimana pabrik pembuatan turbin
ini bisa mendapatkan lisensi dari Siemen.
Rupanya meski Iran membenci Amerika
dan sekutunya tapi tidak sampai membenci produk-produknya. Iran membenci
Amerika hanya karena Amerika membantu Israel. Ini jauh dari bayangan saya
sebelum datang ke Iran. Saya pikir Iran membenci apa pun yang datang dari
Amerika. Ternyata tidak. Bahkan Coca-cola dijual secara luas di Iran. Demikian
juga Pepsi dan Miranda. Belum lagi Gucci, Prada dan seterusnya.
Intinya: dengan diembargo oleh
Amerika Serikat dan sekutunya, Iran hanya mengalami kesulitan pada tahun-tahun
pertamanya. Kesulitan itu membuat Iran kepepet, bangkit dan mandiri. Kesulitan
itu tidak sampai membuatnya miskin apalagi bangkrut. Justru Iran dipaksa
menguasai beberapa teknologi yang semula menjadi ketergantungannya.
Banyaknya proyek yang sedang
dikerjakan sekarang menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi Iran terus berjalan.
Mulai dari pengembangan bandara di mana-mana, pembangunan jalan layang sampai
pun ke industri dasar. Tidak ketinggalan pula industri mobil.
Kegiatan ekonomi di Iran memang
tidak gegap-gempita seperti Tiongkok, tapi tetap terasa menggeliat. Pertumbuhan
ekonominya sudah bisa direncanakan 6 persen tahun ini. Mulai meningkat drastis
dibanding tahun-tahun pertama sanksi ekonomi diberlakukan. “Sebelum ada sanksi
ekonomi, Iran hanya mampu memproduksi 300.000 mobil setahun. Sekarang ini Iran
memproduksi 1,5 juta mobil setahun,” ujar seorang CEO perusahaan terkemuka di
Iran.
Kami mendarat di bandara internasional
Imam Khomeini Teheran menjelang waktu shalat Jumat. Maka saya pun ingin segera
ke masjid: sembahyang Jumat. Saya tahu tidak ada kampung di sekitar bandara
ini. Dari atas terlihat bandara ini seperti benda jatuh di tengah gurun tandus
yang maha luas. Tapi setidaknya pasti ada masjid di bandara itu.
Memang ada masjid di bandara itu
tapi tidak dipakai sembahyang Jumat. Saya pun minta diantarkan ke desa atau
kota kecil terdekat. Ternyata saya kecele. Di Iran tidak banyak tempat yang
menyelenggarakan sembahyang Jumat. Bahkan di kota sebesar Teheran, ibukota
negara dengan penduduk 16 juta orang itu, hanya ada satu tempat sembahyang
Jumat. Itu pun bukan di masjid tapi di universitas Teheran. Dari bandara
memerlukan waktu perjalanan 1 jam. Atau bisa juga ke kota suci Qum. Tapi
jaraknya lebih jauh lagi. Di Negara Islam Iran, Jumatan hanya diselenggarakan
di satu tempat saja di setiap kota besar.
“Jadi, tidak ada tempat Jumatan di
bandara ini?,” tanya saya.
“Tidak ada. Kalau kita kita mau
Jumatan harus ke Teheran (40 km) atau ke Qum (70 km). Sampai di sana
waktunya sudah lewat,” katanya.
Shalat Jumat ternyata memang tidak
wajib di Negara Islam Iran yang menganut aliran Syiah itu. Juga tidak
menggantikan shalat dzuhur. Jadi siapa pun yang shalat Jumat tetap harus shalat
dzuhur.
Karena hari Jumat adalah hari libur,
saya tidak dijadwalkan rapat atau meninjau proyek. Maka waktu setengah hari itu
saya manfaatkan untuk ke kota suci Qum. Jalan toll-nya tidak terlalu mulus tapi
sangat OK: enam jalur dan tarifnya hanya Rp 4000. Tarif itu kelihatannya memang
hanya dimaksudkan untuk biaya pemeliharaan saja.
Sepanjang perjalanan ke Qum tidak
terlihat apa pun. Sejauh mata memandang yang terlihat hanya gurun, gunung
tandus dan jaringan listrik. Saya bayangkan alangkah enaknya membangun SUTET di
Iran. Tidak ada urusan dengan penduduk. Alangkah kecilnya gangguan listrik
karena tidak ada jaringan yang terkena pohon. Pohon begitu langka di sini.
Begitu juga letak kota suci Qum.
Kota ini seperti berada di tengah-tengah padang yang tandus. Karena itu
bangunan masjidnya yang amat besar, yang berada dalam satu komplek dengan
madrasah yang juga besar, kelihatan sekali menonjol sejak dari jauh.
Tujuan utama kami tentu ke masjid
itu. Inilah masjid yang luar biasa terkenalnya di kalangan ummat Islam Syiah.
Kalau pemerintahan Iran dikontrol ketat oleh para mullah, di Qum inilah
pusatnya mullah. Demokrasi di Iran memang demokrasi yang dikontrol oleh ulama.
Presidennya sendiri dipilih secara demokratis untuk masa jabatan paling lama
dua kali, tapi sang presiden harus taat kepada pemimpin tertinggi agama yang
sekarang dipegang oleh Imam Khamenei. Siapa pun bisa mencalonkan diri sebagai
presiden (tidak harus dari partai) tapi harus lolos seleksi oleh dewan ulama.
Tapi Sang Imam bukan seorang diktator
mutlak. Dia dipilih secara demokratis oleh sebuah lembaga yang beranggotakan 85
mullah. Masing-masing mullah itu pun dipilih langsung secara demokratis oleh
rakyat.
Dalam praktek sehari-hari ternyata
tidak seseram yang kita bayangkan. Amat jarang lembaga keagamaan ini
mengintervensi pemerintah. “Dalam lima tahun terakhir kita belum pernah
mendengar campur tangan dari mullah ke pemerintah,” ujar seorang CEO perusahaan
besar di Teheran.
Saya memang kaget melihat kehidupan
sehari-hari di Iran, termasuk di kota suci Qum. Banyak sekali wanita yang
mengendarai mobil. Tidak seperti di negara-negara di jazirah Arab yang
wanitanya dilarang mengendarai mobil. Bahkan orang Iran menilai negara
yang melarang wanita mengendarai mobil dan melarang wanita memilih dalam pemilu
bukanlah negara yang bisa menyebut dirinya Negara Islam.
Dan lihatlah cara wanita Iran
berpakaian. Termasuk di kota suci Qum. Memang semua wanita diwajibkan memakai
kerudung (termasuk wanita asing), tapi ya tidak lebih dari kerudung itu. Bukan
jilbab, apalagi burqah. Kerudung itu menutup rapi kepala tapi boleh menyisakan
bagian depan rambut mereka. Maka siapa pun bisa melihat mode bagian depan
rambut wanita Iran. Ada yang dibuat modis sedikit keriting dan sedikit
dijuntaikan keluar dari kerudung. Ada pula yang terlihat dibuat modis dengan
cara mewarnai rambut mereka. Ada yang blonde, ada pula yang kemerah-merahan.
Bagaimana baju mereka? Pakaian atas
wanita Iran umumnya juga sangat modis. Baju panjang sebatas lutut atau sampai
ke mata kaki. Pakaian bawahnya hampir 100 persen celana panjang yang cukup
ketat. Ada yang terbuat dari kain biasa tapi banyak juga yang celana jean.
Dengan tampilan pakaian seperti itu, ditambah dengan tubuh mereka yang umumnya
langsing, wanita Iran terlihat sangat modis. Apalagi, seperti kata orang Iran,
dari 10 wanita Iran yang cantik adalah 11! Sedikit sekali saya melihat wanita
Iran yang memakai burkah, itu pun tidak ada yang sampai menutup wajah.
Sampai ke kota Qum, sembahyang
Jumatnya memang sudah selesai. Ribuan orang bubaran keluar dari masjid. Saya
pun melawan arus masuk ke masjid melalui pintu 15. Setelah shalat dzuhur
saya ikut ziarah ke makan Fatimah yang dikunjungi ribuan Jemaah itu. Makan ini
letaknya di dalam masjid sehingga suasananya mengesankan seperti ziarah ke
makan Rasulullah di masjid Nabawi. Apalagi banyak juga oarng yang kemudian
shalat dan membaca Quran di dekat situ yang mengesankan orang seperti berada di
Raudlah.
Yang juga menarik adalah strata
sosialnya. Kota metropolitan Teheran dengan penduduk 16 juta dan dengan ukuran
50 km garis tengah adalah kota yang sangat besar. Sebanding dengan Jakarta
dengan Jabotabeknya. Tapi tidak terlihat ada keruwetan lalu-lintas di
Teheran. Memang Teheran tidak memiliki kawasan yang cantik Jalan
Thamrin-Sudirman namun sama sekali tidak terlihat ada kawasan kumuh seperti
Pejompongan dan Bendungan Hilir. Memang tidak banyak gedung-gedung
pencakar langit yang cantik, tapi juga tidak terlihat gubuk dan bangunan kumuh.
Kota Teheran tidak memiliki bagian
kota yang terlihat mewah, tapi juga tidak terlihat ada bagian kota yang miskin.
Teheran bukan kota yang sangat bersih tapi juga tidak terasa kotor. Di
jalan-jalan yang penuh dengan mobil itu saya tidak melihat ada Mercy mewah
apalagi Ferrari, tapi juga tidak ada bajaj, motor atau mobil kelas 600 sampai
1.000 cc. Lebih 90% mobil yang memenuhi jalan adalah sedan kelas 1.500 sampai
2.000 cc. Saya tidak melihat ada mall-mall yang besar di Teheran, tapi saya
juga sama sekali tidak melihat ada pedagang kaki lima, apalagi pengemis. Wanitanya
juga tidak ada yang sampai pakai burqah, tapi juga tidak ada yang berpakaian
merangsang. Orangnya rata-rata juga ramah dan sopan. Baik dalam sikap maupun
kata-kata.
Pemerataan pembangunan terasa sekali
berhasil diwujudkan di Iran. Semua rumah bisa masak dengan gas yang dialirkan
melalui pipa tersentral. Demikian juga 99% rumah di Iran menikmati listrik
–untuk tidak menyebutkan 100%.
Melihat Iran seperti itu saya jadi
teringat makna kata yang ditempatkan di bagian paling tengah-tengah al Quran:
Wal Yatalaththaf!
Bagaimana Iran ke depan? Mengapa
setelah lebih 20 tahun diisolasi dan diembargo Amerika Serikat Iran tidak
kolaps seperti Burma, Korut atau Kuba?
Banyak faktor yang melatar
belakanginya. Pertama, saat mulai diisolasi dulu kondisi Iran sudah cukup maju.
Kedua, tradisi keilmuan bangsa Iran termasuk yang terbaik di dunia. Ketiga,
Iran penghasil minyak dan gas yang sangat besar. Keempat, jumlah penduduk Iran
cukup besar untuk bisa mengembangkan ekonomi domestic. Kelima, tradisi dagang
masyarakat Iran sudah terkenal dengan golongan bazarinya.
Tradisi dagang itu tidak mudah
dikalahkan. Pedagang selalu bisa berkelit dari kesulitan. Ini berbeda dengan
tradisi agraris. Seperti Tiongkok, meski 60 tahun dikungkung oleh komunisme Mao
Zedong yang kaku, penduduknya tetap tidak lupa kebiasaan dagang. Demikian juga
warga Iran. Ini terbukti sampai sekarang pun. Setelah lebih 20 tahun diisolasi
pun sektor jasa masih menyumbang sampai 40% GDP negara itu.
Penduduk Iran yang 75 juta orang
juga menjadi kekuatan ekonomi tersendiri. Apalagi saat mulai diisolasi oleh
Amerika tahun 80-an, kondisi Iran sudah tidak tergolong negara miskin. Kelas
menengah di Iran sangat dominan. Inilah factor yang dulu membuat revolusi Islam
Iran tahun 1979 berhasil menumbangkan diktator Syah Pahlevi. Keberhasilan itu
disebabkan masyarakat di Iran didominasi kaum bazari. Pedagang kelas
menengah. Yakni bukan konglomerat yang ketakutan ditebas penguasa, dan bukan
pedagang kecil yang takut kehilangan tempat bergantung.
Belum lagi kekayaan alamnya. Iran
adalah negara kedua terbesar penghasil minyak dan gas alam. Bukan hanya
memiliki cadangan besar, tapi juga mampu melakukan drilling dan pengolahan
sendiri. Tidak ada lagi ketergantungan akan teknologi drilling dan
pengolahan.
Salah satu sumber gasnya, yang baru
saja ditemukan, akan membuat negara itu kian berkibar. Di lepas pantainya, di
Teluk Parsi, ditemukan ladang gas terbesar di dunia. Ladang itu setengahnya
berada di wilayah Qatar dan setengahnya lagi di wilayah Iran. Tahun 1999
lalu Qatar sudah berhasil menyedot gas bawah laut itu dari wilayah Qatar. Kalau
Iran tidak menyedotnya dari wilayah Iran tentu semua gas itu akan disedot
Qatar. Karena itu Iran juga bergegas menyedotnya dari sisi timur. Tahun 2003
lalu Iran sudah berhasil menyedot gas itu dan akan terus meningkatkan
sedotannya. “Tiga tahun lagi kemampuan Iran menyedot gas itu sudah sama dengan
Qatar,” ujar CEO perusahaan gas di sana.
Untuk menggambarkan seberapa besar
potensi gas itu baiknya dikutip kata-kata CEO yang saya temui di atas. “Seluruh
gas Iran di situ harganya USD 12 triliun,” katanya. Ini sama dengan 12 kali
seluruh kekuatan ekonomi Indonesia yang USD 1 triliun saat ini. “Kalau gas itu
diambil dalam skala seperti sekarang baru akan habis dalam 200 tahun,”
tambahnya.
Gas itu letaknya memang 3.000 meter
di bawah laut, namun dalamnya laut sendiri hanya 50 meter. Secara teknis ini
jauh lebih mudah pengambilan gasnya daripada misalnya gas bawah laut Indonesia
di Masela, di laut Maluku Tenggara.
Memang masih ada kendala ekonomi
yang mendasar. Defisit anggaran masih menghantui, subsidi masih besar, laju
inflasi masih tinggi dan akses perdagangannya masih terjepit oleh sanksi
Amerika. Inflasi yang tinggi itu akibat naiknya harga bahan makanan, gas dan
BBM. Bahkan akibat inflasi itu Iran harus mencetak mata uang dengan pecahan
lebih besar dari rupiah. Kalau pecahan rupiah paling besar Rp 100.000, real
Iran terbesar adalah 500.000 real (1 real hampir sama dengan Rp 1). Bahkan ada
juga real lembaran 1.000.000, meski penggunaannya hanya di lingkungan terbatas.
Seperti Indonesia, Iran juga
merencanakan menghapus empat nol di belakang real yang terlalu panjang itu.
Hanya saja penghapusan nol tersebut baru akan dilakukan setelah inflasinya
stabil kelak. Itulah sebabnya pemerintah Iran kini mati-matian
memperbaiki fondasi ekonominya. Tahun lalu parlemen Iran sudah menyetujui
dilaksanakannya “reformasi ekonomi”. Sebuah reformasi yang sangat penting dan
mendasar. Inti dari reformasi itu adalah menjadikan ekonomi Iran sebagai
“ekonomi pasar”. Artinya harga-harga harus ditentukan oleh pasar. Tidak boleh
lagi ada subsidi. Reformasi ekonomi itu ditargetkan harus berhasil dalam lima
tahun ke depan.
Begitu pentingnya reformasi untuk
meletakkan dasar-dasar ekonomi Iran itu, sampai-sampai Presiden Ahmadinejad
berani mengambil resiko dihujat dan dibenci rakyatnya dua tahun terakhir ini.
Subsidi pun dia hapus. Harga-harga merangkak naik. Ahmadinejad tidak takut
tidak popular karena ini memang sudah masa jabatannya yang kedua, yang tidak
mungkin bisa maju lagi jadi presiden.
Bahwa kini Iran memilih jalan
ekonomi pasar sungguh mengejutkan. Alasannya pun “sangat ekonomi”: untuk
meningkatkan produktivitas nasional dan keadilan sosial. Subsidi (subsidi BBM
tahun lalu mencapai USD 84 juta), menurut pemerintah, lebih banyak jatuh kepada
orang kaya. Karena itu daripada anggaran dialokasikan untuk subsidi lebih baik
langsung diarahkan untuk golongan yang berhak.
Pemikiran reformasi ekonomi seperti
itulah yang tidak ada di negara-negara lain yang diisolasi Amerika Serikat.
Inilah juga faktor yang membuat Iran tidak akan tertinggal seperti Burma, Kuba
atau Libya. Dengan bendera sebagai Negara Islam pun Iran tetap menjunjung
tinggi ilmu ekonomi yang benar. Tradisi keilmuan di Iran, termasuk ilmu
ekonomi, memang sudah tinggi sejak zaman awal peradaban. Inilah salah satu
bangsa tertua di dunia dengan peradaban Arya yang tinggi.
Dalam situasi terjepit sekarang pun,
tradisi keilmuan itu tetap menonjol. Iran kini tercatat sebagai satu di antara
15 negara yang mampu mengembangkan nanoteknologi. Iran juga termasuk 10 negara
yang mampu membuat dan meluncurkan sendiri roket luar angkasa.
Di bidang rekayasa kesehatan, Iran
juga menonjol: teknologi stemcell, kloning dan jantung buatan sudah sangat
dikenal di dunia. Bahkan untuk stemcell Iran masuk 10 besar dunia.
Maka tidak heran kalau Iran juga
tidak ketinggalan dalam penguasaan teknologi perminyakan, pembangkit listrik
dan otomotif. Jangankan jenis teknologi itu, nuklir pun Iran sudah bisa
membuat, lengkap dengan kemampuannya memproduksi uranium hexaflourade yang
selama ini hanya dimiliki oleh enam negara.
AS kelihatannya berhasil membuat
Burma, Korut, Kuba dan Libya menderita dengan embargonya. Tapi tidak untuk
Iran. Ke depan posisi Iran justru kian baik, antara lain karena “dibantu” oleh
Amerika Serikat sendiri. Sudah lama Iran ingin menumbangkan Saddam Husein di
Iraq, namun selalu gagal. Perang Iran-Iraq yang sampai 8 tahun pun tidak
berhasil mengalahkan Saddam Husein. Iran tidak menyangka bahwa Saddam dengan
mudah ditumbangkan oleh AS.
Dengan tumbangnya Saddam Husein maka
Iraq kini dikuasai oleh para pemimpin yang hati mereka memihak Iran. Banyak
pemimpin Iraq saat ini adalah mereka yang di masa Saddam dulu terusir ke luar
negeri, dan mereka bersembunyi di Iran. Bahkan saat terjadi perang Iran-Iraq
dulu, mereka ikut angkat senjata bersama tentara Iran menyerbu Iraq.
Demokrasi yang diperjuangkan AS di
Iraq telah membuat golongan mayoritas berkuasa di Iraq. Padahal mayoritas rakyat
Iraq adalah Islam Syi’ah. Golongan Sunni hanya 40 persen, itu pun tidak utuh.
Yang separo adalah keturunan Arab sedang separo lagi keturunan Kurdi. Ada
kecenderungan keturunan Kurdi memilih berkoalisi dengan Syi’ah. Padahal yang
golongan Arab itu pun masih juga terpecah-pecah ke dalam berbagai kabilah.
Saddam Husein, misalnya, datang dari suku Tikrit yang jumlahnya hanya sekitar
10% dari penduduk Iraq.
Dengan gambaran seperti itu maka
masa depan hubungan Iran dan Iraq tinggal menunggu waktu yang tepat untuk
menjadi amat mesra. Waktu yang tepat itu adalah ini: mundurnya AS 100% dari
Iraq. Dan itu tidak akan lama lagi. Pekan lalu pimpinan Iraq sudah mengatakan
“Iraq hanya perlu bantuan militer untuk menjaga perbatasan, bukan untuk urusan
dalam negeri”.
Maka tidak lama lagi Iraq akan
menjadi “negara ketiga” yang akan mengalirkan barang dari dan ke Iran. Dan
kalau ini terjadi, masih ada gunanyakah Iran diisolasi?
Dahlan Iskan
CEO PLN
Sumber: http://www.pln.co.id/?p=2825
0 komentar:
Posting Komentar